Waktu itu, aku sedang duduk di dalam metromini. Aku
mengutak-atik laptopku untuk membuat skripsi. Aku duduk di samping seorang ibu
yang penampilannya sungguh tak layak, ia sedaritadi hanya memperhatikanku. Aku
tak nyaman jika dilihat, karena aku malu.
“Maaf bu, ada yang bisa saya bantu? Mengapa ibu
dari tadi melihat saya?” tanyaku pada ibu itu.
“Eh.. oh.. Gini nak ibu dari tadi memerhatikanmu karena ibu mau tanya, berapa harga lektok itu?” tanya ibu itu. “Lektok? Apa itu bu?” tanyaku heran. “Yang sedang kamu pakai, berapa harganya?” tanya ibu itu lagi. “Oh ini, ini bukan lektok bu tapi laptop. Harganya paling murah Rp.5.000.000. Memang kenapa bu?” tanyaku. “HAH!! Apa tidak ada yang harganya Rp. 100.000?. Kalau segitu harus kerja 10 tahun” kata ibu itu shock. “Ibu, memang kenapa?” tanyaku semakin penasaran. “Gini nak, anak ibu sekarang kuliah dia perlu laptop untuk buat stipsi” jelas ibu itu. “Bukan stipsi bu, skripsi” kataku membenarkan. “Ya kayak gitulah, dia minta dibeliin laptop tapi, ibu gak punya uang” katanya pasrah.
“Eh.. oh.. Gini nak ibu dari tadi memerhatikanmu karena ibu mau tanya, berapa harga lektok itu?” tanya ibu itu. “Lektok? Apa itu bu?” tanyaku heran. “Yang sedang kamu pakai, berapa harganya?” tanya ibu itu lagi. “Oh ini, ini bukan lektok bu tapi laptop. Harganya paling murah Rp.5.000.000. Memang kenapa bu?” tanyaku. “HAH!! Apa tidak ada yang harganya Rp. 100.000?. Kalau segitu harus kerja 10 tahun” kata ibu itu shock. “Ibu, memang kenapa?” tanyaku semakin penasaran. “Gini nak, anak ibu sekarang kuliah dia perlu laptop untuk buat stipsi” jelas ibu itu. “Bukan stipsi bu, skripsi” kataku membenarkan. “Ya kayak gitulah, dia minta dibeliin laptop tapi, ibu gak punya uang” katanya pasrah.
“Memang apa pekerjaan ibu?” tanyaku. “Ibu tukang
cari kayu bakar” jawab ibu itu. “Sehari berapa bu penghasilannya?” kataku
layaknya wartawan. “Gak tentu nak” jawab ibu itu yang sepertinya kewalahan
menjawab pertanyaanku. “Wah hebat, padahal ibu hanya bekerja sebagai pencari
kayu bakar, namun semangat ibu sangat besar untuk menyekolahkan anak ibu”
kataku kagum. “Anak ibu kuliah ambil jurusan apa?” tanyaku yang tak ada
habis-habisnya. “Arsitektur, dimana ya bisa dapat laptop yang murah?” tanya ibu
itu. “Wah bagus ya, tapi arsitektur mahal biayanya. Oh, kalau ibu gak mampu
beli laptop, ibu suruh saja anak ibu ke rental komputer, Rp.3000 sudah bisa
main 1 jam” jawabku.
“Wah murah sekali, nanti ibu suruh anak ibu ke
rental kolputer. Makasih ya nak” kata ibu itu senang. “Bukan kolputer bu, tapi
komputer. Iya sama-sama bu” kata sambil tersenyum. “Kolputer komputer sama aja
kali” katanya. “Beda bu. Hahahaha” kataku tertawa.
Lalu kami turun di terminal. Kini aku tidak bersama
ibu itu, ia melanjutkan perjalanannya ke jurusan metromini lain.
Kini aku mendapat pelajaran, tidak mesti orang kaya
saja yang sekolah, namun orang miskin juga bisa. Buktinya ibu itu, walaupun dia
hanya pencari kayu bakar, namun dia dapat menyekolahkan anaknya sampai jenjang
yang paling tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar